Kamis, 10 Februari 2011

DATA SUBYEKTIF PADA IBU BERSALIN ( DATA FOKUS)



1.       Data  subyektif adalah informasi yang diceritakan ibu tentang apa yang dirasakannya, apa yang sedang dan telah dialaminya. Data subyektif juga meliputi informasi tambahan yang diceritakan oleh anggota keluarga tentang status ibu, terutama jika ibu merasa sangat nyeri atau sangat sakit (PPIBI, 2008).

2.       Menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data klien melalui anamnesa.

3.   Tanda gejala subyektif yang diperoleh dari hasil bertanya dari pasien, suami, atau keluarga (Mengidentifikasi Informasi )

4.     Catatan yang berhubungan dengan masalah sudut pandang pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang berhubungan diagnose. Pada orang yang bisu, di bagian data akhir  dapat diberi tanda “S” , “O” , “X” untuk menguatkan diagnosa yang dibuat ( Hubertin, 2003 ).

 I.            Mengidentifikasi Informasi
a.       Nama
b.      Umur
c.       Agama
d.      Pendidikan
e.      Pekerjaan
f.        Alamat

II.            Keluhan Utama
Merupakan alasan ibu masuk kamar bersalin seperti yang diungkapkan dengan kata – katanya sendiri. ( EGC, 2007)

Hal – hal yang dialami sebagai tanda – tanda persalinan meliputi :
a.       Kontraksi ( sejak kapan,dituliskan dalam jam) dapat ditanyakan dengan :
Kapan mulai mules – mules ?
Berapa – lama tenggang waktu antara satu kontraksi dengan kontrasi yang lain? ( Frekuensi)
Lamanya mulai kontraksi hingga selesai kontraksi ? (Durasi)

b.      Pengeluaran pervaginam ( dapat berupa lendir darah, cairan)
Dapat ditanyakan dengan “ apakah ada keluaran darah atu bercak ?”

c.       Ketidaknyamanan yang dialami  atau yang dirasakan

d.      Pergerakan bayi
Dapat ditanyakan dengan cara “ Apakah bayi ibu bergerak seperti biasanya?”

III.            Riwayat  Kehamilan
a.       HPMT (Haid Pertama Menstruasi Terakhir)
b.      HPL
c.       Waktu ANC terakhir 

IV.            Nutrisi
a.       Waktu makan terakhir  ( berupa jam), Jenis makanan yang dikonsumsi
b.      Waktu minim terakhir (berupa jam), Jenis minuman yang dikonsumsi

V.            Eliminasi
a.       Buang air besar terakhir ( dalam jam ),
b.      Buang air kecil terakhir

VI.            Istirahat / tidur dalam 24 jam terakhir. (berapa lama)

VII.            Riwayat  Kontrasepsi

VIII.            Pola Kebiasaan


Sumber: Manajemen Kebidanan Metode SOAP, PDIBI 2003 , DKI Jakarta. Purwanti, Sri, Hubertin     ( Bab 2 Hal 20 – 35)

Penatalaksaan Persalinan dengan Riwayat Seksio Sesarea


I.                  SEKSIO SESAREA

Seksio sesarea (SC) didefinisikan sebagai  lahirnya janin melalui insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).  Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin dari rongga abdomen pada kasus rupture uteri atau pada kasus kehamilan abdomen.

Di Amerika frekuensi SC yaitu 1 diantara 10 wanita melahirkan (Ventura, dkkk, 2000), dan terjadi peningkatan secara progresif setiap tahunnya.
Sedangkan penyebab terjadinya peningkatan angka SC sebesar empat kali lipat dari tahun 1965 sampai dengan 1988 yaitu sebagai berikut:
  1. Terjadi penurunan paritas, dan hampir separuh wanita hamil adalah nullipara. 
  2. Wanita yang melahirkan berusia lebih tua
  3. Ditemukannnya pemantauan janin secara elektronik sejak tahun 1970-an yang menyebabkan peningkatan angka SC akibat indikasi “gawat janin”
  4. Kekhawatiran akan tuntutan malpraktik
  5. Insiden pelahiran pervaginam midpelvik menurun.  Hasil ini disebabkan pelahiran pervaginam dengan tindakan yang dilakukan pada station yang lebih tinggi daripada +2 hanya dikerjakan dalam keadaan darurat dan secara bersamaan disertai persiapan untuk SC.

Lebih dari 85 % SC dilakukan atas indikasi:
  1. Riwayat Seksio Sesarea
  2. Distosia persalinan
  3. Gawat janin
  4. Letak bokong






II.               RIWAYAT SEKSIO SESAREA

Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap merupakan kontraindikasi untuk melahirkan karena kekhawatiran akan terjadinya rupture uteri.  Sehingga ada pendapat menurut Cragin, 1916 yaitu, “sekali seksio sesarea maka akan terus seksio sesarea”.  Namun Merril dan Gibbs (University of Texas, 1978) melaporkan bahwa pelahiran pervaginam secara aman berhasil dilakukan pada 83% pasien dengan riwayat SC.  Laporan ini memicu minat terhadap pelahiran pervaginam dengan riwayat seksio sesarea (VBAC).

Tabel 1.  Angka Kelahiran Total melalui Seksio Sesarea dan Pervaginam
dengan Riwayat Seksio Sesarea (VBAC): Amerika Serikat 1989-1998
Tahun
Angka Seksio Sesarea per 100 Pelahiran
Total*
Primer**
Angka VBAC***
1989
22,8
16,1
18,9
1990
22,7
16,0
19,9
1991
22,6
15,9
21,3
1992
22,3
15,6
22,6
1993
21,8
15,3
24,3
1994
21,2
14,9
26,3
1995
20,8
14,7
27,5
1996
20,7
14,6
28,3
1997
20,8
14,6
27,4
1998
21,2
14,9
26,3
  

Keterangan:
  • * Persentase semua kelahiran hiduo dengan seksio sesarea
  • ** Jumlah sesksio sesarea primer per 100 kelahiran hidup dari wanita tanpa riwayat seksio sesarea
  • *** Jumlah pelahiran pervaginam dengan riwayat seksio sesarea (VBAC) per 100 kelahiran hidup dari wanita dengan riwayat seksio sesarea


Penelitian-penelitan tentang kemanan VBAC yang terakhir di Northwesten Hospital melaporkan bahwa semakin jelas ada hubungan yang erat antara VBAC dengan risiko ruptur uteri yang berakibat buruk bagi ibu dan janin (American College of Obstetry and Gynecologist, 1999).  Hal ini menyebabkan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam percobaan persalinan pervaginam atas riwayat SC.

Tabel 2 Kriteria Seleksi untuk pelahiran pervaginam dengan riwayat Seksio Sesarea
(American College of Obstetry and Gynecologist, 1999)
KRITERIA SELEKSI*
Riwayat satu atau dua kali seksio sesarea transversal rendah
Panggul adekuat secara klinis
Tidak ada jaringan parut atau riwayat rupture uteri lain
Sepanjang persalinan aktif selalu tersedia dokter yang mampu memantau persalinan dan melakukan seksio sesarea  darurat
Ketersediaan anestesi dan petugas seksio sesarea  darurat
*dari American College of Obstetry and Gynecologist, 1999

Faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya percobaan persalinan dengan riwayat Seksio Sesarea:
  1. Jenis insisi uterus sebelumnya
Pasien dengan jaringan parut melintang yang terbatas di segmen uterus bawah kecil kemungkinan mengalami robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya.  Secara umum angka terendah untuk rupture dilaporkan terdapat pada insisi transversal rendah, dan tertinggi pada insisi klasik yaitu insisi yang meluas ke fundus (American College of Obstetry and Gynecologist, 1999).
  1. Jumlah seksio sesarea sebelumnya
Risiko rupture uteri meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya.  Angka rupture uteri secara bermakna meningkat lima kali lipat pada wanita dengan riwayat dua kali seksio sesarea dibandingkan dengan satu kali seksio sesarea (3,7 % berbanding dengan 0,8%).
  1. Indikasi seksio sebelumnya
Angka keberhasilan persalinan pervaginam relatif bergantung pada indikasi seksio sesarea sebelumnya.  Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum maupun sesudah seksio sesarea secara bermakna meningkatkan prognosis keberhasilan VBAC ( Caughey, dkk, 1998).  Artinya bahwa sebelum melakukan VBAC maka perlu dilakukan penilaian ketat keadaan-keadaan yang berkaitan risiko efek samping.
  1. Oksitosin dan anestesi epidural
Pemakaian oksitosin untuk menginduksi persalinan dilaporkan menjadi penyebab rupture uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesarea dengan prevalensi 13 dari 15 wanita (Turner, 1997). 

III.    WEWENANG BIDAN TERHADAP PASIEN DENGAN RIWAYAT SEKSIO SESAREA

Sebagaimana yang tercantum dalam Kepmenkes No.900/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan yang merupakan revisi dari Kepmenkes No.572/1996, terdapat beberapa hal yang dinyatakan sebagai wewenang Bidan untuk memberikan pelayanan asuhan kebidanan meliputi pelayanan kebidanan, keluarga berencana dan kesehatan masyarakat (Bab V  tentang praktik bidan, pasal 14).

Sedangkan pelayanan kebidanan pada pertolongan persalinan normal yang merupakan wewenang Bidan dan diakui serta dilindungi oleh payung hukum mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan pre term (Bab V tentang praktik bidan,  pasal 16).

Juga pada Permenkes No.149/2010 tentang izin dan penyelenggaraan pratik Bidan yang isinya masih banyak menuai pro-kontra akibat terdapat beberapa pemangkasan wewenang Bidan yang ada di Kepmenkes No.900/2002 sebelumnya, dinyatakan bahwa Bidan hanya diberi wewenang untuk melakukan pertolongan persalinan normal (Bab III tentang penyelenggaraan praktik, pasal 10).

Pada kedua keputusan menteri kesehatan tersebut tidak terdapat pernyataan bahwa Bidan diberikan wewenang untuk melakukan pertolongan persalinan normal kepada pasien dengan riwayat bekas seksio sesarea. 

Disimpulkan bahwa selain alasan medis mengapa Bidan harus merujuk pasien inpartu dengan riwayat bekas seksio sesarea yang dipaparkan sebelumnya, namun juga tidak ada payung hukum bagi Bidan untuk melakukan pertolongan persalinan normal terhadap pasien dengan riwayat bekas seksio sesarea.

















DAFTAR PUSTAKA


Cunningham, Gary dkk. 2006. William Obstetri Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. YBP-SP. Jakarta.s
Kepmenkes No.900/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
Permenkes No.149/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.



Mengapa masyarakat memilih pertolongan persalinan ke dukun beranak?

Berikut adalah beberapa alasan mengapa masyarakat Indonesia khususnya yang di pedesaan masih lebih memilih melahirkan dengan dukun beranak dibandingkan ke tenaga kesehatan terlatih (Bidan/Dokter):


Keuntungan :
   1.      Murah dan tidak pasang tarif, sehingga tidak perlu di bayar dengan uang
   2.      Tidak di jahit
   3.      Pasien di dampingi terus
   4.      Pada proses persalinan pasien di elus- elus
   5.      Perawatannya ke pasien lama, pasien dan bayi tiap hari  di mandikan
   6.      Perawatan bayi sampai puput pusar
   7.      Perawatan ibu, selama 40 hari dipijit
   8.      Anggapan bahwa dukun itu lebih tua, sehingga pengalamannya lebih banyak
    9.     Lebih telaten dan tidak galak
   10. Saat proses persalinan yang di tolong oleh dukun boleh ditonton orang banyak                               
12.     Mudah di panggil sewaktu- waktu


Kerugian :
1.      Perdarahan berisiko
2.      Resiko infeksi meningkat karena hygien kurang.
3.      Adanya prolaps uteri
4.      Semakin banyak anak semakin besar tempat robekan jalan lahir karena tidak di jahit.
5.      Tidak di beri obat
6.      Resiko meninggal lebih besar
7.      Mengakibatkan keterlambatan rujukan
8.      Di beri ramuan yang mungkin malah akan membahayakan
9.      Pengetahuan dan ketrampilannya minim.
10.  Tidak ada persiapan misalnya donor darah dll.

Yang bisa tenaga kesehatan terlatih (Bidan/Perawat/ Dokter) lakukan seperti dukun:
-          Bidan bisa di panggil sewaktu – waktu (Home care)
-          Bidan dapat memberikan perhatian yang lebih
-          Home care pasca bersalin(mengurus bayi dan ibu nifas)
-          Bidan bisa gratis seperti dengan menggunakan jamkesmas
-          Bisa mempridiksi waktu kelahiran, pembukaan jalan lahir
-          PI (Pencegahan Infeksi ) lebih baik
-          Lebih bisa mengenali tanda resiko tinggi yang terjadi pada ibu hamil  dan bersalin sehingga kegawat daruratan lebih bisa di atasi

Kendala yang bidan tidak bisa lakukan  seperti dukun:
-      1.  Keterbatasan waktu karena bidan juga bekerja
-      2.  Bidan tidak bisa menunggui pasien dengan menginap di rumah pasien
-       3.  Bidan tidak bisa menggunakan ramuan -  ramuan karena bidan menggunakan obat.
-       4.  Bidan tidak bisa mengijinkan banyak orang yang menunggui pasien karena potensi infeksi
-       5.  Bayi tidak boleh langsung dimandikan karena resiko hipotermi.
-        6.  Bidan tidak bisa membiarkan ruptur pada jalan lahir karena harus dijahit
-        7.   Bidan tidak bida memiijit terutama Ibu.